GUA MARIA SENDANG ROSARIO NGIJOREDJO, WONOSARI
Keberadaan Umat Katolik di stasi Ngijorejo tidak lepas
dari tokoh perintisnya yang tak lain adalah Bapak Atmo Suparto. Dialah seorang
mantan Kamitua (Sesepuh Dusun) yang
dipercaya warganya sebagai sesepuh yang mempunyai daya linuwih. Bapak Atmo Suparto, setelah berkenalan dengan agama
Katolik yang masuk ke dusun Ngijorejo, menjadi tertarik dan meminta di baptis.
Dan di baptislah ia pada bulan Desember 1933. Peristiwa pembaptisannya membawa
dampak positif bagi perkembangan umat Katolik di Ngijorejo. Sebab mereka
berpikir kalau seorang Bapak Atmo Suparto saja menjadi Katolik, para
pengikutnya itupun segera mengikuti jejaknya. Demikianlah umat Katolik di
Ngijorejo berkembang pesat sekali hingga merambah kedusun Beji, Wera, Ngasem,
Kalidukuh, Petung, Gatak dan Kalidadap. Kondisi seperti itu mengundang
perhatian khusus dari Romo Paroki. Sewaktu Romo T. Widyana, SJ berkarya di
Wonosari perhatian khusus itu semakin meningkat. Sehabis Misa Romo biasanya
tidak langsung pulang melainkan berbincang-bincang dengan umat. Lalu Romo juga
menyempatkan diri untuk mengunjungi salah seorang umat yang sedang sakit atau
bermasalah, atau sedang punya hajatan. Tak heran kalau hubungan Romo dengan
umatnya begitu dekat, ibarat hubungan Bapak dengan anaknya. Pada suatu saat
Romo T. Widyana, SJ mengunjungi salah seorang umat yang sakit, orang itu
bernama Robertus Paino Krama Taruna yang tinggal tak jauh dari kali (sungai)
Mojing. Saat melintasi sungai Mojing itu Romo sangat terkesan, sebab air sungai
itu sangat bersih dan jernih. Maka timbullah gagasan dalam diri Romo T.
Widyana, SJ untuk membuat tempat ziarah di lokasi dekat sungai Mojing itu.
Gagasan itu disampaikannya kepada Bapak Markus Karso Utomo yang menjadi katekis
saat itu. Dan Bapak Markus Karso Utomo pun setuju. Lalu gagasan Romo itupun
disampaikan kepada umat di wilayah Ngijorejo maupun umat Katolik di sekitarnya.
Mereka pun setali tiga uang, semuanya setuju dengan gagasan Romo T. Widyana,
SJ.
Langkah Awal
Setelah umat dan Romo sepakat untuk membuat tempat
ziarah, langkah selanjutnya Bapak Karso Utomo menemui pemilik tanah di dekat
sungai Mojing itu. Ia memohon kesediaan pemilik tanah itu untuk merelakan
tanahnya digunakan sebagai tempat ziarah. Beliaupun tidak keberatan, maka
rencana pembuatan tempat ziarahpun bisa segera diwujudkan.
Umatpun giat bergotong royong mencari batu untuk membuat
gua agar patung Bunda Maria dapat ditempatkan didalamnya. Pembuatan gua sendiri
diprakarsai oleh Bapak Herman Yoseph Suwandi yang sehari-harinya bekerja di
Departemen Pekerjaan Umum, Wonosari, Yogyakarta.
Partisipasi Umat Luar Biasa
Kebutuhan pasir, kapur, semen dan lain-lain untuk
pembangunan gua diperoleh dari iuran yang dihimpun oleh dan dari umat setempat
dibantu oleh umat Paroki Wonosari. Umat secara bergiliran bekerja bakti
membantu para tukang yang mengerjakan pembuatan gua itu. Gua Maria itu dibuat
sederhana, tidak terlalu besar dan menghadap ke timur tepat dibawah pohon
munggur (trembesi). Gua Maria terletak tak jauh dari sungai Mojing, secara
filosofis makna sungai Mojing dan Gua Maria sama, yaitu sebagai sumber
kehidupan. Bedanya sungai Mojing merupakan sumber kehidupan jasmani, sedangkan
Gua Maria menjadi sumber kehidupan rohani bagi umat Katolik.
Gua Maria Sendang Rosario
Sepulang dari tugas di Roma, tepatnya pada hari
peringatan Bunda Maria menampakkan diri di Lourdes, tanggal 11 Pebruari 1962
Romo T. Widyana, SJ memberkati sungai Mojing dengan air suci yang dibawa dari
Lourdes. Pada saat itu pula sungai Mojing itu diubah fungsinya dan bersama
dengan Gua Maria menjadi tempat ziarah Gua Maria Sendang Rosario. Sejak saat
itu pula khususnya setiap bulan Mei dan Oktober Gua Maria Sendang Rosario
banyak dikunjungi umat yang berziarah berdoa rosario.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar