Selasa, 26 Agustus 2014

GUA MARIA SENDANG ROSARIO NGIJOREJO,

GUA MARIA SENDANG ROSARIO NGIJOREDJO, WONOSARI

Keberadaan Umat Katolik di stasi Ngijorejo tidak lepas dari tokoh perintisnya yang tak lain adalah Bapak Atmo Suparto. Dialah seorang mantan Kamitua (Sesepuh Dusun) yang dipercaya warganya sebagai sesepuh yang mempunyai daya linuwih. Bapak Atmo Suparto, setelah berkenalan dengan agama Katolik yang masuk ke dusun Ngijorejo, menjadi tertarik dan meminta di baptis. Dan di baptislah ia pada bulan Desember 1933. Peristiwa pembaptisannya membawa dampak positif bagi perkembangan umat Katolik di Ngijorejo. Sebab mereka berpikir kalau seorang Bapak Atmo Suparto saja menjadi Katolik, para pengikutnya itupun segera mengikuti jejaknya. Demikianlah umat Katolik di Ngijorejo berkembang pesat sekali hingga merambah kedusun Beji, Wera, Ngasem, Kalidukuh, Petung, Gatak dan Kalidadap. Kondisi seperti itu mengundang perhatian khusus dari Romo Paroki. Sewaktu Romo T. Widyana, SJ berkarya di Wonosari perhatian khusus itu semakin meningkat. Sehabis Misa Romo biasanya tidak langsung pulang melainkan berbincang-bincang dengan umat. Lalu Romo juga menyempatkan diri untuk mengunjungi salah seorang umat yang sedang sakit atau bermasalah, atau sedang punya hajatan. Tak heran kalau hubungan Romo dengan umatnya begitu dekat, ibarat hubungan Bapak dengan anaknya. Pada suatu saat Romo T. Widyana, SJ mengunjungi salah seorang umat yang sakit, orang itu bernama Robertus Paino Krama Taruna yang tinggal tak jauh dari kali (sungai) Mojing. Saat melintasi sungai Mojing itu Romo sangat terkesan, sebab air sungai itu sangat bersih dan jernih. Maka timbullah gagasan dalam diri Romo T. Widyana, SJ untuk membuat tempat ziarah di lokasi dekat sungai Mojing itu. Gagasan itu disampaikannya kepada Bapak Markus Karso Utomo yang menjadi katekis saat itu. Dan Bapak Markus Karso Utomo pun setuju. Lalu gagasan Romo itupun disampaikan kepada umat di wilayah Ngijorejo maupun umat Katolik di sekitarnya. Mereka pun setali tiga uang, semuanya setuju dengan gagasan Romo T. Widyana, SJ.

Langkah Awal
Setelah umat dan Romo sepakat untuk membuat tempat ziarah, langkah selanjutnya Bapak Karso Utomo menemui pemilik tanah di dekat sungai Mojing itu. Ia memohon kesediaan pemilik tanah itu untuk merelakan tanahnya digunakan sebagai tempat ziarah. Beliaupun tidak keberatan, maka rencana pembuatan tempat ziarahpun bisa segera diwujudkan.
Umatpun giat bergotong royong mencari batu untuk membuat gua agar patung Bunda Maria dapat ditempatkan didalamnya. Pembuatan gua sendiri diprakarsai oleh Bapak Herman Yoseph Suwandi yang sehari-harinya bekerja di Departemen Pekerjaan Umum, Wonosari, Yogyakarta.


Partisipasi Umat Luar Biasa
Kebutuhan pasir, kapur, semen dan lain-lain untuk pembangunan gua diperoleh dari iuran yang dihimpun oleh dan dari umat setempat dibantu oleh umat Paroki Wonosari. Umat secara bergiliran bekerja bakti membantu para tukang yang mengerjakan pembuatan gua itu. Gua Maria itu dibuat sederhana, tidak terlalu besar dan menghadap ke timur tepat dibawah pohon munggur (trembesi). Gua Maria terletak tak jauh dari sungai Mojing, secara filosofis makna sungai Mojing dan Gua Maria sama, yaitu sebagai sumber kehidupan. Bedanya sungai Mojing merupakan sumber kehidupan jasmani, sedangkan Gua Maria menjadi sumber kehidupan rohani bagi umat Katolik.

Gua Maria Sendang Rosario

Sepulang dari tugas di Roma, tepatnya pada hari peringatan Bunda Maria menampakkan diri di Lourdes, tanggal 11 Pebruari 1962 Romo T. Widyana, SJ memberkati sungai Mojing dengan air suci yang dibawa dari Lourdes. Pada saat itu pula sungai Mojing itu diubah fungsinya dan bersama dengan Gua Maria menjadi tempat ziarah Gua Maria Sendang Rosario. Sejak saat itu pula khususnya setiap bulan Mei dan Oktober Gua Maria Sendang Rosario banyak dikunjungi umat yang berziarah berdoa rosario.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar